cerpen

Posted by : Nisa's Line
Rabu, 16 Mei 2012


Surga di ujung tanduk

Aku mengelao keringat yang mengucur di wajahku. Cuaca hari ini sangat panas. Hampir-hampir aku tak kuat. Aku terus melaju menggunakan sepeda motorku. Panas semakin terasa menyengat. Aku melirik jam tanganku. Jam 2. Aku putuskan berhenti sebentar di sebuah warung pinggir jalan.
Warung makan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa laki-laki yang sedang asyik mengobrol. Warung ini sederhana. Hanya ada kursi panjang dua dengan meja besar di tenganya. Ada televisi 14 inci yang di letakan di atas pintu. Aku memesan es teh pada perempuan pemilik warung. Seorang ibi paruh baya. Dandanannya sama seperti kebanyakan perempuan desa yang lain. Aku duduk di sebelah bapak usianya sekitar 60 tahun. Laki-laki ini sibuk dengan rokok yang dilinting sendiri olehnya. Asap putih mengepul dari mulutnya meninggalkan racun-racun yang dihirup oleh orang di sekitarnya. Tapi laki-laki itu tetap menikmatinya.
Di depanku seorang pemuda berumur sekitar 25 tahun. Badanya tegap. Kulitnya hitam karena terbakar matahari. Dia sedang asyik menyantap makan siangnya. Di sebelah pemuda itu ada seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki itu hanya memesan kopi. Sekali-kali laki-laki itu menyrutup kopinya.
“dari mana mas?” tanya lelaki tua di sebelahku dengan santai. Matanya masih menatap layar televisi.
“dari kota pak,” jawabku sambil menerima es teh dari ibu pemilik warung.
“rumahnya mana?” tanya laki-laki itu masih menatap televisi.
“kampung sebelah,”
“oh.... kenal dong sama haji su’aib?” tanya laki-laki paruh baya di depanku.
“kenal lah..” jawabku. Dalam benaku muncul sosok haji su’aib yang selalu memakai kopiah kemanpun pergi.
“nikah lagi ya katanya?” tanya pemuda di depanku masih dengan makanan penuh di mulutnya.
“iya bang, udah sebulan lah..” kataku. Aku masih ingat wajah istri ke dua haji su. Cantik, manis, masih muda.
“ah... sekarang kiyai-kiyai pada tren poligami,” sahut ibu pemilik warung dengan agal sinis. Aku hanya tersenyum. Semua wanita pasti akan berkata sama kalau bicara masalah poligami.
“kenapa emangnya mpok? Kan boleh sama agama kita,” kata laki-laki paruh baya dengan sedikit menggoda ibu pemilik warung.
“tetep aja emang bisa apa laki sekarang pada adil sama istri-istrinya. Ngga percaya aku,” jawab perempuan itu dengan kesal.
“kalo kiyai udah pada poligami wah makin gampang aja kita poligami...” kata pria paruh baya disambut tawa laki-laki yang lain. Ibu pemilik warung cemberut. Aku hanya tersenyum simpul.
“sampai kapanpun aku nda akan ngijinin suami aku nikah lagi.” Kata perempuan itu dengan marah.
“tenang saja mbok, ngga ada juga perempuan yang mau sama bang karjo. Jadi nggak perlu takut. Hahah....”  seluruh laki-laki di sana tertawa. Aku tak berani ikut tertawa.
Tiba-tiba seorang datang. Sepertinya dia orang yang cukup disegani oleh mereka. Seketika mereka semua berhenti tertawa.
“ada apa to bang hasan?” tanya orang itu.
“ah engga. Ini lagi ngomongin poligami,” kata lelaki tua yang dipanggil bang hasan.
“ita, kok sekarang kiai-kiai pada poligami ya pak?” tanya ibu pemilik warung.
“ya nggak pap. Kan boleh dalam islam,” kata laki-laki itu.
“iya tapi kan jadi bikin orang-orang pada tiru-tiru,” kata ibu pemilik warung dengan pandangan yang sinis.
“yang [enting kan bisa adil,” kata laki-laki itu.
“kalau ngiomongin adil ntar mereka semua juga bilang udah adil, tapi nyatanya malah seenaknya aja,” ibu-ibu itu makin sinis. “kiai yang terkenal itu klan malah sekarang cerai. Saya sih yakin kalau dia pasti ngga adil. Istri yang krdua aja cantik banget gitu,” kata ibu itu. Laki-laki itu hanya tersenyum. Mungkin enggan untuk menanggapi.
“udahlah mpok ngapain ngomongin poligami, malah ribut ntar,” kata pemuda yang di depanku sambil meletakan piring yang telah kosong ke atas meja.
“iya, mending ngomongin itu aja masalah sedekah. Emang bener ya kalau kita sedekah jadi rejeki cepet datang?” tanya laki-laki paruh baya sampil menyeruput kopinya.
“iya betul,” laki-laki itu menjawab dengan singkat.
“malahan bisa dapat uang,” kata pemuda di depanku.
“iya betul, tapi sedekah itu harus iklas.” Kata laki-laki itu bijak.
“wah, saya ngga percaya kalau sedekah iklas tuh.” Kata ibu pemilik warung.
“kenapa mpok?” tanya pemuda di depanku dengan heran.
“iya, di tivi-tivi kan  ada ustad yang bilang kalau sedekah bisa dapat rejeki. Lah orang pada sedekah tapi pikiran mereka kan pasti biar rejekinya gampang. Kan ngga iklas.” Kata ibu pemilik warung. Semua orang diam.
“wah kalau kaya gitu gimana pak?” tanya laki-laki paruh baya dengan polos.
“saya juga belum paham pak,” kata laki-laki itu. Aku juga berfikir. Jangan-jangan acara televisi yang kaya gitu Cuma buat narik orang untuk sedekah. Masih ada pahalanya ngga ya? Aku masih terus berfikir hingga terdengar adzan dhuhur.
“wah, sudah adzan, ayo kita ke masjid.” Ajak laki-laki itu.
“iya pak, nanti nyusul. Kata pemuda di depanku basa-basi.
“saya duluan ya..” laki-laki itu melangkah pergi menuju masjid tak jauh dari warung.
Orang-orang di warung kembali melanjutkan obrolannya. Aku menghabiskan es tehku. Setelah hsbis sku segera membayar dan pergi. Sholat dulu ngga ya? Ah mending ntar aja di jamak. Kan lagi perjalanan jauh. Poligami aja boleh meski menimbulkan mudorot bagi orang lain. Jadi kalau sholat di jamak kan ngga masalah.
Aku menstater motorku melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan adzan masih terus bersahutan memanggil umat islam untuk segera menunaikan sholat. Tapi aku terus melaju dengan santai. Ternyata surga  sekarang mulai tergadaikan.

Purbalingga, 2011

0 komentar:

Copyright © 2012 Nisa's Line | Another Theme | Designed by Johanes DJ