Toh
Brahma
Malam yang sunyi di desa terpencil
kaki gunung Slamet dipecahkan oleh suara burung hantu yang tak pernah mau
berhenti. Rasmini masih tidur di ranjangnya menahan rasa sakit. Perutnya yang
membesar seakan mau meletus. Cabang bayi yang ada di dalam perutnya akan
keluar. Air ketuban berwarna bening air kelapa telah pecah membasahi tikar yang
dijadikan sebagai alas tempat tidur. Rasmini masih merintih menahan sakit
diperutnya. Parman, suami Rasmini sedang memanggil Ni Sumini, dukun bayi di
desa itu.
Langit di luar terang oleh sinar bulan
yang telah mencapai setengah. Burung hantu masih terus bersuara seolah sedang
memberi tahukan bahwa akan ada petaka yang datang di desa terpencil itu. Angin
kecil sebentar-sebentar berhembus membawa aroma melati dari pelataran rumah Rasmini.
Parman datang dengan tergesa-gesa. Derit sepeda tuanya telah didengar oleh Rasmini.
Perasaannya sesaat menjadi lega. Begitu sampai di depan rumahnya Parman
langsung menyandarkan sepedanya di bawah pohon nangka. Ni Sumini langsung masuk
ke dalam rumah Parman. Rasmini telah menunggu dengan menahan rasa sakitnya.
Dengan segera ni sumuni mengeluarkan segala perlengkapan yang diperlukan.
“Parman, cepat panggil bapak sama
biyungmu. Bawakan aku jarit yang
banyak.” Ni Sumini mulai menangani kelahiran Rasmini. Parman langsung
mengambilkan jarit yang dibutuhkan. Setelah itu dia langsung ke rumah orang
tuannya.
“Ni, sakit banget...hu..hu..”
“Tenang saja nduk, ketubannya sudah
pecah. Tarik nafas terus ngejan ya..” Rasmini mengikuti apa yang dikatakan
dukun itu. Dia terus berusaha untuk mengejan sekuat tenaganya.
Di luar Parman datang dengan bapak dan
si mboknya. Mbah gatok, biyung Parman langsung masuk ke dalam sentong*.
“Gimana ni?” Mbah getok menghampiri
menantunya.
“Nda pa pa... nda ada masalah.” Mbah
getok bernafas lega.
Di luar Parman menunggu dengan cemas.
Berkali-kali dia bangkit dari tempat duduknya dan melihat ke dalam sentong.
“Sudah to man, pusing aku melihatnya.
Istrimu itu nda papa.” Ki Gisus membentak anaknya. Parman langsung duduk
mendengar bentakan bapaknya. Di risban* Parman masih saja cemas. Berkali-kali dia meremas
tangannya. Kecemasannya sirna ketika suara tangis bayi memecah kesunyian pagi buta.
Parman langsung berdiri. Diambang pintu sentong Mbah gatok berdiri sambil
tersenyum.
“Anakmu, lahir man.... anakmu...
putuku...”
Parman langsung masuk ke dalam
sentong. Bayinya sedang dimandikan oleh ni Rasmini. Parmin menghampiri istrinya
yang terbaring lemah.
“Anak kita lahir...” Rasmini
tersenyum.
“Celaka, man... celaka ki Gisus....”
tiba-tiba ni Sumini berlari ke luar dari sentong.
“Ada apa to ni?” ki Gisus segera
menghampiri ni Sumini disusul Mbah gatok. Parman yang berada di daam sentong
ikut keluar.
“Celaka, ki, celaka... sekarang sudah
selasa kliwon kan?” ni Sumini bertanya dengan ketakutan.
“Iya. Ada apa ini ni?” kali ini Parman
yang bertanya. Perasaannya tidak enak. Pasti terjadi sesuatu.
“Toh brahma, bayimu lanang, di paha
bagian dalam bayimu man...”
Seketika ki Gisus dan mbok gatok
lemas. Parman masih berdiri mematung. Ia sama sekali tidak tau apa itu toh
brahma. Apa bahayanya toh brahma? Kenapa ni Sumini berkata bahwa ini celaka?
“Apa toh brahma ni?” tanya Parman.
“Oalah nduk, toh brahma itu kutukan.
Anakmu kena kutukan. Kalau toh brahma ada di bayi laki-laki dan di tempat yang
kelingingan* nanti kalo besar anakmu menikah istrinya bakal
sering keguguran kalo nda ya mati.”
Parman berdiri mematung. Anaknya kena
kutukan. Itu kenyataan yang kini harus ia terima. Ia menghampiri bayinya yang
masih menangis. Dilihatnya paha kanan anaknya. ada warna merah di bagian dalam
pahanya. Parman merabanya. Tidak timbul hanya warna merah biasa. Kenapa ini
bisa menjadi sebuah kutukan?
“Man, cepat kamu cari gonteng* buat ngilangin kutukan anakmu..” ki Gisus segera
mengambil tindakan. Ia tidak mau kalau cucunya sampai terkena kutukan itu.
“buat apa pak?” Parman masih bingung
dengan keadaan yang terjadi.
“Buat nyembuhin anakmu. Nanti kamu
gigitkan gontengnya sama anakmu. Aku mau pergi dulu.” Ki Gisus langsung keluar
dari rumah Parman.
Begitu menyadari apa yang terjadi Parman
segera mencari gonteng di tempat kayu bakar. Dengan membawa obor Parman mencari
di balik kayu bakar. Beruntung dia menemukan kawanan gonteng di sana. Segera Parman
membawa gonteng-gonteng itu. Dengan cepat dia
kembai ke dalam rumah. Segera ia mendekati anaknya di sentong. Ni Sumini
sedang membereskan sisa-sisa melahirkan. Sedang Mbah gatok entah dimana
perempuan tua itu. Parman langsung mendekati bayinya yang belum sempat dipotong
tali pusarnya. Parman langsung meletakan gonteng-gonteng itu ditubuh bayinya.
Satu persatu gonteng itu merayap di atas tubuh bayinya. Menggigit setiap kulit
bayinya. Bayi yang masing merah itu menangis sejadi-jadinya. Tapi Parman
membiarkannya. Biarlah anaknya menahan sakit sebentar dari pada harus
menanggung kutukan. Mendengar tangis bayi yang melengking, ni Sumini
menghampiri bayi Parman. Gonteng-gonteng itu terus mengerumuni tubuh bayi
malang itu. Melihat itu ni Sumini langsung membuang gonteng-gonteng itu dari
tubuh sang bayi.
“Oalah man, kamu itu goblog atau
bagaimana? Masa gonteng sebanyak ini kamu suruh kerubutin anakmu?!!! Oalah man,
man…..” ni Sumini geram dengan kelakuan Parman. Dia kira Parman sudah tau
bagaimana menghilangkan kutukan ini.
“Ada apa Ni?” tiba-tiba ki Gisus sudah
berada di belakang ni Sumini.
“Putumu ini, masa dikerubut gonteng
sebanyak ini.”
“Kamu itu goblog ya man. Anakmu bisa
mati kalo gontengnya sebanyak itu. Satu saja cukup. Cuma digigitin tok. Dasar
goblog kamu man!!” ki Gisus memaki anaknya.
Parman hanya diam. Dia sama sekali tak
tau apa-apa. Dia hanya ingin agar anaknya tidak mendapat kutukan. Hanya itu.
***
Aku masih setia mendengarkan cerita
dari Mbahku, ki Gisus. Aku memang sudah sering mendengar cerita ini. Tapi aku
sama sekali tak pernah protes ketika Mbahku bercerita. Meskipun tetap sama
cerita yang aku dengar. Padahal aku ingin sekali mendengar kisah bayi itu tapi
dengan keadaan yang berbeda. Bukan keadaan bahwa dia adalah anak yang dikutuk.
Aku adalah bayi yang dikutuk itu.
Tadinya aku ingin seklali tak percaya pada kisah itu. Namun, aku harus tau
bahwa memang kutukan itu telah menunjukan dirinya. Ya, setelah gonteng-gonteng
itu menggigiti seluruh tubuhku tiga hari kemudian bayi kecil itu badannya
panas, bahkan sampai kejang-kejang. Entah bagaimana tiba-tiba ukuran kepala
bayi malang itu membesar dan terus membesar. Dan kini kepalaku tidak seperti
kebanyakan ukuran kepala normal. Aku seperti orang yang terkena hidrosepalus. Aku
tumbuh dengan pandangan aneh dari seluruh penghuni desa kecil ini.
Terkadang aku ingin protes dengan
keadaanku. Kenapa aku yang harus menyandang toh brahma ini? Setiap habis mandi
aku selalu memandangi toh itu lama. Pernah aku mencoba menghilangkannya dengan
aku lukai kulitku, tapi tak berhasil. Hanya luka yang aku dapat. Sedang kutukan
itu tak juga hilang dari pandangan masyarakat.
“Sebenarnya tanda lahir di pahamu itu
tanda lahir biasa, Cuma yang jadi tidak biasa itu karena kamu lahir hari selasa
kliwon.”
“Memangnya kenapa Mbah?” pertanyaan
bodoh. Sebenarnya aku telah tau jawabannya. Si Mbah menatapku.
“Karena hari itu hari keramat.”
Katanya masih dengan memandangku. Sebenarnya aku tak perlu lagi bertanya akan
hal itu. Aku sudah dewasa aku sudah 28 tahun. Aku sudah bisa memahami akan hal
itu. Meskipun aku belum sepenuhnya ikhlas akan keadaanku ini.
Toh brahma, sebuah tanda lahir
berwarna merah dan tidak timbul. Hampir sama seperti merah ketika gatal biasa.
Tak ada yang istimewa. Hanya tanda lahir biasa. Namun, di desa yang terpencil
dengan minimnya ilmu pengetahuan yang masuk membuat mitos-mitos masih menjadi kepercayaan.
Toh brahma tidak berpengaruh apa-apa ketika muncul pada perempuan, hanya
mungkin noda yang ditingggalkan yang dapat menimbulkan masalah. Selain itu tak
ada. sedangkan jika terjadi pada bayi laki-laki yang lahir pada hari selasa ataupun
jum’at kliwon dan letaknya di daerah tertutup akan mendatangkan bencana berupa
ketika menikah istrinya akan sering keguguran atau bahkan meninggal. Dan
sekarang ini kutukan itu mengalir dalam darahku.
“Mbah, apa aku nda boleh menikah?”
tanyaku agak ragu.
“Boleh saja, tapi apa ada yang mau
sama kamu heh?” si Mbah menatapku. Aku tau maksud perkataannya. Tapi mungkin
ada yang mau denganku. Darti, gadis dengan perawakan kecil berkulit hitam. Dia
mau menerimaku dengan keadaanku saat ini. Termasuk kutukan toh brahma ini.
“Kalo ada gimana Mbah?” tanyaku
memancing.
“Ya kalo calon istrimu mau menerima
kamu ya nda masalah. Tapi kamu juga harus mikirin keluarga calon istrimu.”
Dengan hati-hati si Mbah mengatakan hal itu. Aku tau untuk hal ini memang
sulit. Mengubah kepercayaan yang sudah begitu mengakar di desa kecilku ini.
Tapi aku tak ingin menyerah begitu saja. Aku juga ingin seperti laki-laki lain
yang juga ingin untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
***
Hal terindah dalam hidupku. Aku akan
menjadi seorang ayah. Menakjubkan. Setelah tiga bulan menikah Darti hamil. Aku
benar-benar bahagia. Bukan hanya sekedar karena aku akan menjadi seorang bapak,
tapi juga karena aku telah membuktikan bahwa kutukan yang aku sandang hanyalah
sebuah mitos yang tak perlu dipermasalahkan.dan aku akan membuktikan itu semua.
Aku menikahi Darti dengan perjuangan
yang berat. Orang tua Darti tidak pernah menyetujui aku menikahi anaknya. Yah,
aku tau setiap orang tua pasti tidak akn menyetujui jika anaknya menikah dengan
orang yang tak normal. Terlebih aku adalah orang dengan penyandang kesialan toh
brahma. Tapi akhirnya meskipun dengan berat hati orang tua Darti mau menikahkan
kami. Dan aku tidak akan pernah membiarkan kesialan ini akan terus menghantui
rumah tanggaku.
Pernikahan kami berjalan mulus, meski
memang masih saja banyak orang yang mencibir dan menggunjing tentang keluarga
kami. Kepercayaan orang-orang di desa terpencil ini tidak akan begitu saja
hilang. Aku sejujurnya heran, desa kami meskipun terpencil tak begitu saja
lepas dari moderenisasi. Televisi dan radio telah masuk ke kampung kecil ini.
Bahkan beberapa pemuda yang merantau dari kota telah mempunyai handphone.
Sebuah benda yang sangat mewah bagi kami. Tapi mungkin aku bisa paham.
Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah melihat begitu banyak benda
ajaib di sekitarnya tentu akan tertarik. Namun sayang, ketertarikan mereka
hanya sebatas hiburan. Kepenatan rutinitas warga yang bekerja di ladang maupun
sawah-sawah, tentu akan sangat terhibur jika di petang hari duduk di depan
televisi, menyaksikan wanita-wanita seksi dengan pakaian minim di
sinetron-sinetron. Anak-anak pun sama, mereka hanya melihat kartun-kartu yang
sama sekali tidak mendidik. Mereka lebih menyukai hiburan yang disugukan
daripada berita-berita. Mereka haus akan hiburan yang mampu melupakan beban
kehidupan yang tak kunjung selesai. Berlomba-lomba menunjukan kelebihan mereka.
Aku memang bodoh, tapi setidaknya aku tidak lagi termakan oleh kepercayaan yang
tidak berdasar.
Aku hanya seorang lulusan SMP di kota
kecamatan. Aku tidak melanjutkan sekolahku. Sama seperti anak-anak di desa
kecil kami. Sudah lulus SMP saja sudah untung. Jika aku menjadi seorang
perempuan aku pasti tidak akan tau disamping berhitung ternyata banyak sekali
ilmu yang aku tidak tau dan tidak mungkin aku dapatkan di desa kecilku. Di desa
kami yang mempunyai ijasah SMP bisa dihitung dengan jari satu tangan.
Kebanyakan dari mereka tamat dari SD mereka akan membantu orang tua mereka di
sawah, baru dua tahun kemudian mereka akan dilepas orang tuanya untuk memilih
antara merantau atau tetap di desa. Mereka jelas lebih memilih merantau.
Kehidupan di kota yang serba mewah membuat mereka silau. Satu persatu mereka meninggalkan
desa, lalu pulang dengan barang-barang mewah.siapapun yang melihatnya pasti
akan tertarik. Tak terkecuali bocah-bocah lugu yang kesehariannya hanya bermain
jaranan dari pelepah pisang, perang-perangan dengan pistol dari bambu, dan jika
sedang untung sekali-kali mereka bermain kelereng dari hadiah jajanan.
Aku cukup beruntung dengan bekal
ijasah SMP aku diterima bekerja di sebuah toko. Bertemu dengan orang yang
berbeda setiap hari, sungguh memberikan pengalaman yang sangat berharga. dan di
sana juga aku beretemu dengan Darti hingga kami menjalin hubungan.
***
Aku pikir cerita tentang toh brahma
itu telah berahir. Namun aku salah. Darti keracunan. Pagi kemarin Darti mencari
jamur di belakang rumah. Aku tidak tau jamur jenis apa yang dia makan. Tapi
setelah makan dia muntah-muntah dan pingsan. Tak ada yang tau Darti mengalami
keracunan. Hingga aku pulang dari sawah, aku lihat Darti sudah tidak bernyawa.
Aku benar-benar mengalami kegoncangan
yang sangat dasyat. Cerita tentang toh brahma muncul lagi. Bahkan lebih heboh
lagi. Aku dianggap membawa kutukan yang besar. Tubuhku yang tak normal, bayi
yang ada di kandungan Darti, dan Darti sendiri semua menjadi tumbal. Sebagian
lagi mereka menganggap bahwa kutukan itu berasal dari orang tuaku, sedangkan
aku hanya sebagai jalan. Orang tua Darti sangat marah. Sekarang ini mereka
benar-benar telah membenciku. Aku tak tau lagi, semua orang menyalahkanku akan
apa yang terjadi dengan Darti. Tapi aku sendiri masih yakin, ini bukan
kesalahanku. Bukan karena toh brahma yang ada di tubuhku. Semata-mata karena
kuasa dari gusti Allah. Tapi di desa keci ini siapa yang akan percaya.
“Mbah kan sudah bilang kamu harus
hati-hati” si Mbah menasehatiku.
“Tapi Mbah ini kan bukan karena aku
tapi ini memang sudah menjadi garis gusti Allah.”
“Ya, memang ini semua gusti Allah yang
buat, yang nentukan, tapi toh brahmamu itu adalah sebagai jalaran.”
Aku menghembuskan nafasku. Tetap saja
cerita toh brahma yang akan aku dengar. Sebenarnya merekalah yang menciptakan
garis bahwa kematian Darti dan kesialan yang dialami oleh aku. Kehidupanku di
desa kecil ini ditentukan oleh kepercayaan mereka. Dan selamanya hal itu akan
terus terjadi.
0 komentar: